~~~๐️﷽
*๐๐⸽⃟∘̥⃟๐✨ _Kisah Cerita & Motivasi Kehidupan~~~_✨๐️⸽⃟∘̥⃟*๐๐
*༺═───────────*───═ ﷽
_๐ฎ๐ฉMenuju Indonesia Bertauhid☝๐ป_
*_Sahabat Fillah~~~_*
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh
Mungkin diantara kita, masih ingat akan kisah cerita ini? Kembali kita bertadabbur, menggali sepenggal pelajaran yang berharga dari kisah tersebut.
Salman Al Farisi adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad ๏ทบ yang berasal dari negeri Persia. Salman sengaja meninggalkan kampung halamannya untuk mencari cahaya kebenaran. Kegigihannya berbuah hidayah Alloh Ta'ala, dengan dipertemukannya beliau dengan Nabi Muhammad ๏ทบ di kota Madinah.
Salah satu kehebatan Salman adalah strategi perangnya. Beliau juga yang mengusulkan penggalian parit di sekeliling kota Madinah ketika kaum kafir Quraisy Mekah bersama pasukan sekutunya datang menyerbu dalam perang Khandaq.
Saat itu, Salman Al Farisi sudah waktunya untuk menikah. Ada seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi shalihah telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai pacar, tetapi sebagai sebuah pilihan untuk menambatkan cinta dan membangun rumah tangga dalam ikatan suci dengannya.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di kota Madinah. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat istiadat tersendiri, ras, bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya.
Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah yang mau membantunya untuk melamarnya. Maka disampaikannyalah keinginan hatinya itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, yaitu Abu Darda’.
”Subhanallaah. . wal hamdulillaah...”, girang gembira perasan Abu Darda’ mendengarnya. Dia merasa tersanjung mendapat kepercayaan dari Salman. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah.
Rumah seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abu Darda’ dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Alloh Ta'ala telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini, melamar putri Anda untuk dipersuntingnya”.
Dengan pasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah SAW yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga kami bermenantukan seorang shahabat Rasulullah ๏ทบ yang utama. Akan tetapi, hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami”, jawab tuan rumah.
Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.
”Maafkan kami atas keterusterangan kami ini”, kata suara lembut itu.
Ternyata sang ibu akan berbicara mewakili puterinya.
”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Alloh Ta'ala, saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun apabila Abu Darda’ memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan”.
Keterus terangan yang di luar perkiraan kedua sahabat tersebut benar-benar mengejutkan. Bahwa ternyata sang puteri lebih tertarik kepada pengantarnya daripada pelamarnya.
Bayangkan, sebuah perasaan campur aduk, dimana "cinta dan persaudaraan" bergejolak berebut tempat di dalam hati.
Bayangkan, sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.
Namun mari kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini.
”Allahu Akbar....!”, seru Salman.
”Semua mahar dan nafkah yang telah kupersiapkan ini, akan aku serahkan kepada saudaraku Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi atas pernikahan kalian...!”
Ma Shaa Alloh...
Betapa indah kebesaran hati Salman Al Farisi.
Ia begitu paham bahwa cinta, betapapun besarnya, kepada seorang wanita tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki.
Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat faham arti sebuah persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ telah dipersaudarakan oleh Rasulullah ๏ทบ dengannya.
Adapun salah satu alasan mengapa Al Farisi melakukan hal itu adalah, karena dirinya lebih mencintai Alloh Ta'ala, Rasulullah ๏ทบ, dan saudaranya melebihi cinta kepada dirinya sendiri.
Sesungguhnya inilah hakikat cinta sesungguhnya. Bukanlah seorang saudara, jika ia tidak turut bergembira atas kebahagiaan saudaranya? Bukanlah saudara, jika ia merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya?
“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”.
๐ [HR Bukhari]
Baarakallaahu waiyyakum...
Semoga menjadi renungan bermanfaat dan semoga Alloh Ta'ala senantiasa memberikan kita kekuatan untuk menghadapi, apapun yang menjadi UJIAN-Nya
✨ *ุขู ِّْูู ุขู ِّْูู َูุง ุฑَุจَّ ุงูุนَูููุงَูู ِْู*
๐ธ☕~~~๐️
Komentar
Posting Komentar