Sabtu, 13 Mei 2023

"๐Š๐ˆ๐’๐€๐‡ ๐“๐€๐”๐๐€๐“๐๐˜๐€ ๐‡๐€๐…๐ˆ ๐’๐€๐๐† ๐๐„๐Œ๐€๐๐”๐Š."

 Assalamu'alaikum.


๏ปฟุจูุณู’ู…ู ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุงู„ุฑู‘ูŽุญู’ู…ูฐู†ู ุงู„ุฑู‘ูŽุญููŠู’ู…ู

bismillaahir-rohmaanir-rohiim


"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."




ALKISAH sebutlah seorang pemabuk bernama Bishir Al-Hafi. 

Hafi seorang pecandu khamr, tiada hari ia lewatkan tanpa meminum barang haram itu, bermaksiat dan berfoya-foya dimana ada tempat maksiat disitu Hafi mudah ditemui.


Di suatu hari, ketika Hafi terbius dalam lamunan akibat terlalu banyak menenggak khamr ia melihat secarik kertas bertuliskan basmallah, 


Bismillahirrahmanirrahiim. 


Hafi memungutnya, ia simpan kertas itu baik-baik. Bahkan saking hormatnya, Hafi mengoleskan wewangian pada kertas itu.


Malam menjelang, ketika gelap mulai menyelimuti bumi seorang alim bermimpi ketika alim itu terbuai dalam mimpinya, Allah ุณุจุญุง ู†ู‡ ูˆ ุชุนุงู„ู‰ memerintahkannya untuk menyampaikan sebuah kalimat pada Hafi.


"Engkau telah mengharumkan nama-Ku, maka Aku pun telah mengharumkan dirimu. 

Engkau telah memuliakan nama-Ku, maka Aku pun telah memuliakan dirimu. 

Engkau telah mensucikan nama-Ku, maka Aku pun telah mensucikan dirimu. 

Demi kebesaran-Ku, niscaya Ku-harumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat nanti."


Tercekat dalam tidurnya, sang alim merasa tak percaya dengan apa yang ia mimpikan. 

Ia meragukannya, karena tahu siapa itu Hafi sebenarnya.


Sang alim kemudian mengambil air wudhu, lalu lakukan shalat dua raka'at Ia kemudian tertidur kembali.


mimpinya berulang kembali. Sang alim lagi-lagi terbangun, mengambil air wudhu serta shalat dua raka'at namun hal itu terus berulang sang alim mendapati mimpi yang sama persis.


Penasaran, keesokan harinya sang alim mencari Hafi. 

Tak sulit untuk menemukannya, karena seperti biasa Hafi tengah mabuk berat.


Sang alim mengajak Hafi berbincang, kemudian menyampaikan apa yang ia mimpikan sementara Hafi begitu serius mencermati ucapan sang alim itu.


Usai pecakapan itu, Hafi mendatangai teman-temanya sambil berkata, "Aku sudah dipanggil. 

Aku akan meninggalkan tempat ini kalian tidak akan pernah bertemu denganku lagi."


Selepas kejadian itu, Hafi berubath total Ia bernetanorfosis dari seorang pemabuk menjadi seorang shalih pada masanya. 

Saking shalihnya, ketika Hafi wafat umat Muslimin berbondong-bondong menshalati jenazahnya Gelombang manusia berdatangan. 

Tidak berhenti dari subuh sampai maghrib itu terjadi selama berhari-hari.


Ketika hidupnya, Imam Bishir Al-Hafi pernah bermimpi bertemu Rasulullah ๏ทบ. 

Sang Nabi bertanya, Mengapa engkau mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari orang-orang yang semasa dengannu?"

"Tidak tahu, wahai Rasulullah," Jawab Bishir.


Nabi menjelaskan, "Karena kamu mengikuti sunnahku, kamu berbakti pada orang-orang shalih, kamu memberi nasehat kepada sesama, dan karena cintamu kepadaku, keluargaku serta sahabatku ู…ุง ุดุงุก ุงู„ู„ู‡, sungguh Allah Maha pengampun. 

Dia memberikan ampunan kepada siapa yang Dikehendaki-Nya. 

Dia melimpahkan ma'af kepada hanba-hamba-Nya yang meminta, selama hamba hamba tersebut tidak melakukan perbuatan mensekutukan sesuatu pun kepada-Nya.


Selama 40 tahun keinginan Bisyr Al-Hafi untuk merasakan daging panggang tak kunjung terwujud, hal itu disebabkan karena dia tidak memiliki uang. Pernah juga beliau menginginkan memakan kacang buncis, keinginan itu pun juga tak kunjung terwujud. Padahal, kalaupun beliau berkehendak, sebagai salah seorang waliyullah yang dekat kepada Allah, beliau bisa saja meminta segala sesuatu dan pasti dikabulkan. 

Akan tetapi beliau tidak mau melakukannya jalan hidup dan penyangkalan diri yang beliau jalani juga menahan beliau untuk meminum air dari saluran yang ada pemiliknya Rasa peduli atau empatinya kepada orang-orang miskin pun sangat besar. Konon di suatu musim yang begitu dingin, di mana semua orang mengenakan pakaian tebal untuk menghangatkan tubuh mereka, beliau, Bisyr Al-Hafi malah berbuat sebaliknya dia melepas pakaiannya di tengah cuaca yang begitu dingin akibatnya tubuhnya menjadi menggigil kedinginan.


"Hai Abu Nashr (panggilannya), mengapa kau melepaskan pakaianmu di tengah cuaca yang sangat dingin ini?" Teriak orang-orang heran.


"Aku teringat orang-orang miskin aku tidak punya uang untuk membantu mereka oleh karena itu, aku ingin turut merasakan penderitaan mereka."  


Wafatnya Sang Waliyullah Suatu malam, ketika Bisyr Al-Hafi menanti ajalnya pada tahuan 277 H/ 841 M, tiba-tiba datang seseorang dan mengeluhkan nasibnya kepadanya. 

Kemudian Bisyr pun menyerahkan seluruh pakaian yang dia kenakan kepada orang tadi dia pun lantas memakai pakaian lain yang dia pinjam dari salah seorang sahabatnya. 

Dengan menggunakan pakaian pinjaman itulah sang waliyullah tersebut menghadap Tuhannya Di tempat yang lain, seorang laki-laki melihat keledai yang dibawanya membuang kotoran di jalan. Padahal selama Bisyr Al-Hafi hidup, tidak ada seekor keledai pun yang membuang kotoran di jalan karena menghormati Bisyr yang berjalan dengan tanpa menggunakan alas kaki. 

Melihat kenyataan aneh seperti itu spontan si laki-laki tersebut langsung berteriak "Bisyr telah tiada!" Mendengar seruan laki-laki tadi, orang-orang pun pergi untuk menyelidikinya validitas berita tersebut, Dan ternyata apa yang dikatakan oleh laki-laki tadi benar adanya. 

Lalu orang-orang pun menanyakan sesuatu padanya, "Bagaimana kau tahu bahwa Bisyr Al-Hafi telah meninggal dunia?"  


"Karena selama Bisyr Al-Hafi hidup aku tidak pernah menyaksikan ada seekor keledai pun yang membuang kotoran di jalan. 

Dan tadi aku melihat kenyataan yang sebaliknya. Keledaiku membuang kotorannya di jalan dari itu pun aku tahu bahwa Bisyr Al-Hafi telah wafat." Jawab laki-laki tadi.


ูˆุงู„ู„ู‡ ุงุนู„ู…

Selasa, 09 Mei 2023

Kisah

 #KISAH NYATA


KISAH SEORANG ANAK DI AMSTERDAM, BELANDA


Setiap selesai shalat Jum'at setiap pekannya, seorang imam (masjid) dan anaknya (yang berumur 11 tahun) mempunyai jadwal membagikan bukuโ€“buku Islam, di antaranya buku 


"Ath-Thariq ilal Jannah (Jalan Menuju Surga)."


Mereka membagikannya di daerah mereka di pinggiran Kota Amsterdam.


Namun, tibalah suatu hari ketika kota tersebut diguyuri hujan yang sangat lebat dengan suhu yang sangat dingin. 


Sang anakpun mempersiapkan dirinya dengan memakai beberapa lapis pakaian demi mengurangi rasa dingin.


Setelah selesai mempersiapkan diri, ia berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku, aku telah siap."


Ayahnya menjawab, "Siap untuk apa?"


Ia berkata, "Untuk membagikan buku (seperti biasanya)."


Sang ayahpun berucap, "Suhu sangat dingin di luar sana, belum lagi hujan lebat yang mengguyur."


Sang anak menimpali dengan jawaban yang menakjubkan, "Akan tetapi, sungguh banyak orang yang berjalan menuju Neraka di luar sana, dibawah guyuran hujan."


Sang ayah terhenyak dengan jawaban anaknya seraya berkata, "Namun, Ayah tidak akan keluar dengan cuaca seperti ini."


Akhirnya, anak tersebut meminta izin untuk keluar sendiri. Sang ayah berpikir sejenak, dan akhirnya memberikan izin.


Iapun mengambil beberapa buku dari ayahnya untuk dibagikan, dan berkata, "Terima kasih, wahai ayahku."


Dibawah guyuran hujan yang cukup deras, ditemani rasa dingin yang menggigit, anak itu membawa buku-buku itu yang telah dibungkusnya dengan sekantong plastik ukuran sedang agar tidak basah terkena air hujan, lalu ia membagikan buku kepada setiap orang yang ditemui. 


Tidak hanya itu, beberapa rumahpun ia hampiri demi tersebarnya buku tersebut.


Dua jam berlalu, tersisalah 1 buku di tangannya. Namun, sudah tidak ada orang yang lewat di lorong tersebut. 


Akhirnya, ia memilih untuk menghampiri sebuah rumah di seberang jalan untuk menyerahkan buku terakhir tersebut.


Sesampainya di depan rumah, ia pun memencet bel, tapi tidak ada respon. Ia ulangi beberapa kali, hasilnya tetap sama. 


Ketika hendak beranjak seperti ada yang menahan langkahnya, dan ia coba sekali lagi ditambah ketukan tangan kecilnya.


Sebenarnya, ia juga tidak mengerti kenapa ia begitu penasaran dengan rumah tersebut. 


Pintupun terbuka perlahan, disertai munculnya sesosok nenek yang tampak sangat sedih.


Nenek berkata, "Ada yang bisa saya bantu, Nak?"


Si anak berkata (dengan mata yang berkilau dan senyuman yang menerangi dunia), "Saya minta maaf jika mengganggu. Akan tetapi, saya ingin menyampaikan bahwa Allah sangat mencintai dan memperhatikan Nyonya.

Kemudian saya ingin menghadiahkan buku ini kepada Nyonya. Didalamnya, dijelaskan tentang Allah Ta'ala, kewajiban seorang hamba, dan beberapa cara agar dapat memperoleh keridhaannya."


Satu pekan berlalu, seperti biasa sang imam memberikan ceramah di masjid. Seusai ceramah, ia mempersilahkan jama'ah untuk berkonsultasi.


Terdengar sayup-sayup, dari shaf perempuan, seorang perempuan tua berkata, "Tidak ada seorangpun yang mengenal saya disini, dan belum ada yang mengunjungiku sebelumnya."

"Satu pekan yang lalu, saya bukanlah seorang muslim, bahkan tidak pernah terbetik dalam pikiranku hal tersebut sedikitpun. Suamiku telah wafat, dan dia meninggalkanku sebatang kara di bumi ini."


Dan iapun memulai ceritanya bertemu anak itu, 


"Ketika itu cuaca sangat dingin disertai hujan lebat, aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku....... Kesedihanku sangat mendalam, dan tidak ada seorangpun yang peduli padaku. Maka tidak ada alasan bagiku untuk hidup. Akupun naik ke atas kursi, dan mengalungkan leherku dengan seutas tali yang sudah kutambatkan sebelumnya. Ketika hendak melompat, terdengar olehku suara bel. Aku terdiam sejenak dan berpikir, 'Paling sebentar lagi, juga pergi.'


Namun......... suara bel dan ketukan pintu semakin kuat. Aku berkata dalam hati,  'Siapa gerangan yang sudi mengunjungiku? Tidak akan ada yang mengetuk pintu rumahku.'


"Kulepaskan tali yang sudah siap membantuku mengakhiri nyawaku, dan bergegas ke pintu. ketika pintu kubuka, aku melihat sesosok anak kecil dengan pandangan dan senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya."


Aku tidak mampu menggambarkan sosoknya kepada kalian. 


Perkataan lembutnya telah mengetuk hatiku yang mati hingga bangkit kembali.


Ia berkata, 'Nyonya, saya datang untuk menyampaikan bahwa : Allah Ta'ala sangat menyayangi dan memperhatikan nyonya,' lalu dia memberikan buku ini kepadaku.


"De Weg Naar De Hemel"

 (Jalan Menuju Surga)


Anak kecil itu datang kepadaku secara tiba-tiba, dan menghilang dibalik guyuran hujan.


"Hari itu juga secara tiba-tiba setelah menutup pintu, aku langsung membaca buku dari anak kecilku itu sampai selesai."


"Seketika, kusingkirkan tali dan kursi yang telah menungguku, karena aku tidak akan membutuhkannya lagi."


"Sekarang, lihatlah aku. diriku sangat bahagia, karena aku telah mengenal Tuhan-ku yang sesungguhnya."


"Akupun sengaja mendatangi kalian berdasarkan alamat yang tertera di buku tersebut untuk berterima kasih kepada kalian yang telah mengirimkan mutiara kecilku pada waktu yang tepat, hingga aku terbebas dari kekalnya api Neraka."


Air mata semua orang mengalir tanpa terbendung di masjid bergemuruh dengan  pekikan takbir, 

"Allahu Akbar."


Sang imam (ayah dari anak itu) beranjak menuju tempat dimana mutiara kecil itu duduk, dan memeluknya erat, di hadapan para jama'ah.


Sungguh mengharukan. Mungkin tidak ada seorang ayahpun yang tidak bangga terhadap anaknya seperti yang dirasakan imam tersebut.


Judul asli :


 ู‚ุตุฉ ุฑุงุฆุนุฉ ุฌุฏุง ูˆู…ุนุจุฑุฉ ูˆู…ุคุซุฑุฉ  


"DE WEG NAAR DE HEMEL"


Penerjemah:


Shiddiq Al-Banjow


jazakullahu khairan wa waffaqahu


Barakallahu fiikum ____๐Ÿƒ๐ŸŒน

~~~~โญ•๏ธ

*๐ŸƒBerbagi_Kebaikan๐Ÿƒ*

Senin, 01 Mei 2023

GARAM DAN TELAGA* 


Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. โ€œCoba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..โ€, ujar Pak tua itu.

โ€œPahit. Pahit sekaliโ€, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.


Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. โ€œCoba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, โ€œBagaimana rasanya?โ€.


โ€œSegar.โ€, sahut tamunya.

โ€œApakah kamu merasakan garam di dalam air itu?โ€, tanya Pak Tua lagi.

โ€œTidakโ€, jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. โ€œAnak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.


โ€œTapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.โ€


Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. โ€œHatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.โ€


Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan โ€œsegenggam garamโ€, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.


**Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.



๐ŸŒธโ˜•~~~๐Ÿ–‹๏ธ

KRONOLOGI PEMBUNUHAN HABIL

  Part 1 Awal munculnya kedengkian Setelah pasangan Nabi Adam โ€˜alaihissalam dan Hawa turun ke bumi, Allah Subhanahu wa Taโ€™ala mengaruniak...